Mayoritas-Minoritas Malaysia dalam Multikuralisme
Malaysia adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki dua bagian. Malaysia barat atau semenanjung dan Malaysia timur. Malaysia dengan total penduduk 32.730.000 jiwa, mayoritas adalah ras Melayu dengan presentase 62% dari keseluruhan jumlah penduduk tersebut. Sehingga dapat dillihat bahwa dalam hal ini dapat terjadi diskriminasi terhadap perbedaan kelompok mayoritas-minoritas. Bahkan, pada masa akhir era kolonialisasi, bangsa Inggris telah menciptakan mayoritas Melayu-Muslim dalam hal kepentingan administrasi negara.
Perbedaan mayoritas-minoritas yang terjadi demikian juga menyebabkan timbulnya masalah yang baru yaitu mengenai supremasi partai politik. Pada tahun 1946, ras Melayu membentuk Organisasi Nasional Melayu bersatu (UMNO). Sementara itu, kelompok etnis minoritas juga mendirikan partai politiknya sendiri sebagai wadah kepentingan mereka sehingga etnis Cina mendirikan Malaysian Chinese Association (MCA) dan kelompok India membentuk Malaysian Indian Congress (MIC). Pada 13 Mei 1969 terjadi kerusuhan rasial antar etnis Tionghoa dan etnis Melayu yang terjadi pada era kampanye di tahun tersebut. Hal yang mendasari kerusuhan tersebut adalah bahwa pemerintah koalisi Aliansi pimpinan UMNO yang berkuasa menderita kekalahan elektroal pertama dalam periode pasca-kemerdekaan. Disisi lain, kedua belah pihak yang mengadakan parade kemenangan yang bersifat provokatif akhirnya mengakibatkan dampak yang buruk dan menjadi kekerasan komunal. Dengan demikian, hegemoni politik Melayu semakin mengakar akibat dari penguatan politik UMNO maupun sempitnya etnis minoritas dalam menjalankan bahasa dan praktik budaya mereka.
Akibat dari hegemoni yang terjadi pada aspek politik oleh mayoritas Melayu nampaknya berdampak pada aspek lain di negara tersebut, contohnya adalah pada aspek ekonomi. Masyarakat minoritas India terutama bagi mereka yang bekerja di industri perkebunan tampaknya lebih memperhatikan masalah sosial ekonomi dan infrastruktur daripada hak-hak mengenai minoritas itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan sulitnya akses bagi mereka kaum minoritas dalam meraih kesempatan dalam hal profesi sehingga menjadikan kaum minoritas lebih bekerja keras untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonominya. Sehingga diskriminasi di Malaysia terhadap kaum minoritas telah mengakar pada masyarakat dan pemerintah.
Sedangkan masyarakat Tionghoa yang merupakan minoritas berusaha mempertahankan hak-hak dan budayanya. Hal tersebut didasarkan pada hak-hak yang terdapat di dalam konstitusi dan hukum. Dengan demikian, persoalan mengenai supremasi politik dan ekonomi Melayu, akomodasi bahasa, pekerjaan yang berbasis etnis, dan persoalan identitas bagi kaum minoritas menurut Kymlicka terjadi karena kerangka teori liberalisme Barat. Kemudian hak dan hukum serta konstitusional mengenai kebebasan praktik identitas budaya dan agama yang berasal dari kerangka barat dalam memenuhi hak-hak minoritas hendaknya terjadi keharusan struktural dari pemerintahan yang memungkinkan adanya perwakilan politik di dalam pemerintahan. Sehingga hal tersebut mampu merangkul hak-hak individu termasuk pada hak-hak budaya yang dapat dilaksanakan melalui kebebasan berserikat dengan mendasar dan melekat dalam hak-hak liberal kewarganegaraan.
Namun, hingga saat ini hal yang ditawarkan oleh Kymlicka tidak mudah dilakukan karena masih adanya kalibrasi struktural-fungsional yang terus dilakukan oleh kaum mayoritas Melayu terlebih karena dampak dari kolonialisme yang hingga saat ini terus mengakar dan mengalir bahkan hingga terjadi hegemoni. Kesempatan kaum minoritas di dalam pemerintahan juga relatif rendah dibandingkan dengan kaum Melayu sehingga akses dan perputaran politik-ekonomi hanya berputar bagi mereka kaum Melayu. Sehingga dapat dilihat bahwa walaupun terdapat kesempatan bagi kaum minoritas dalam hal pemerintahan maupun ketika mereka mendirikan partai oposisi, nampaknya hal tersebut tidak menjadi jalan keluar yang mudah karena masih terjadi persoalan komunal di dalam negara tersebut. Disisi lain, Kebijakan Ekonomi Baru (NEP) telah dipraktikkan sejak tahun 1971, yang bertujuan untuk mengatasi ketimpangan pendapatan dan kesenjangan ekonomi.
Dengan demikian, hendaknya kebijakan pemerintah lebih menekankan pada toleransi dan penerimaan tanpa mengabaikan perbedaan. Dijelaskan oleh teori identitas sosial, hal ini disebabkan karena orang Melayu menjadi kelompok mayoritas di Malaysia, sehingga menimbulkan sikap bangga, harga diri, dan superioritas terhadap minoritas Tionghoa ataupun minoritas lainya. Hal tersebut mampu menciptakan sentimen negatif terkait dengan preferensi homogen, yang akan memperburuk pemahaman dan persatuan antar kelompok. Kemudian asimilasi budaya juga mampu menjadi jalan keluar bagi masyarakat minoritas India, Tinghoa, maupun masyarakat minoritas lainya yang hidup berdampingan dengan masyakarat mayoritas Melayu. Sehingga pendekatan yang demikian mampu membina keharmonisan dalam masyarakat yang multikultural dan majemuk seperti masyarakat Malaysia. Meningkatkan pemahaman terhadap antarkelompok dan pengalaman antarbudaya juga mampu membantu mengurangi masalah diskriminasi.
Daftar Pustaka
Aminnuddin, N. A. (2020). Ethnic Differences and Predictors of Racial and Religious Discriminations ampng Malaysian Malays and Chinese. Cogent Psychology, 5–18.
Chee-Beng, T. (2000). Ethnic Identities and National Identities: Some Examples from Malaysia. Identities Global Studies in Culture and Power.
Kymlicka, W. (2010). The rise and fall of multiculturalism new debates on inclusion and accomodation in diverse societies.